Menolak Lupa! Persitiwa 330 Orang Bojonegoro Memilih Pergi ke Suriname


Periode 1825–1830 menjadi titik balik penting dalam sejarah Bojonegoro. Di tengah Perang Jawa yang berkecamuk, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengambil langkah strategis dengan menghapus wilayah administratif lama seperti Jipang dan Rajekwesi, lalu menetapkan Bojonegoro sebagai pusat pemerintahan baru 1828. Kebijakan ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga politis—dirancang untuk meredam potensi perlawanan dan mengonsolidasikan kekuasaan kolonial di wilayah yang strategis.

Menurut Gedenkwaardige Tafereelen van den Oorlog op Java 1825–1830, Wilayah Kapas menjadi pangkalan militer penting bagi pasukan Belanda yang datang dari Tuban, Madura, Sidayu, Surabaya, Gresik, dan Lamongan. Pengiriman pasukan besar-besaran itu diperlukan untuk menumpas perlawanan yang dipimpin oleh tokoh lokal, Sosrodilogo.

Usai perang, masyarakat Bojonegoro menanggung dampak sosial dan ekonomi yang berat. Salah satunya adalah penguasaan hutan jati oleh pemerintah kolonial, yang menghilangkan akses masyarakat terhadap sumber daya alam vital. Pada tahun 1845, jumlah penduduk pribumi tercatat hanya sekitar 155.220 jiwa, mencerminkan penurunan drastis akibat konflik berkepanjangan.

Sebagai respons terhadap krisis agraria dan bencana alam yang kerap melanda, pemerintah kolonial meluncurkan proyek Solo Valleiwerken pada tahun 1852. Proyek ini bertujuan mengendalikan banjir dan kekeringan, sekaligus meningkatkan hasil pertanian di daerah seperti Bojonegoro. Namun, proyek ini terbentur berbagai kendala teknis dan birokrasi, hingga akhirnya dihentikan pada 1899 dan dinyatakan gagal pada 1903.

Tekanan ekonomi semakin berat ketika eksploitasi minyak bumi dimulai 1894 di kawasan Kawengan dan Wonocolo. Industrialisasi ini mengubah sebagian besar hutan menjadi ladang minyak, yang berdampak pada hilangnya akses masyarakat terhadap lahan dan sumber penghidupan tradisional mereka.

Kondisi tersebut mendorong terjadinya migrasi besar-besaran. Sejak 1890-an, pemerintah kolonial mulai mengirim tenaga kerja kontrak dari Jawa ke Suriname, menyusul penghapusan sistem perbudakan. Berdasarkan studi Liem dalam Hollandsche Landbouwers voor Suriname, gelombang awal diangkut dengan kapal SS Koningin Emma. Migrasi ini mencapai puncaknya pada 1939 dengan sekitar 32.000–33.000 orang Jawa diberangkatkan, termasuk 330 orang dari Bojonegoro.

Para migran dari Bojonegoro umumnya berasal dari latar belakang ekonomi lemah dan terpaksa meninggalkan tanah kelahiran karena kelangkaan peluang kerja. Meskipun dianggap sebagai buruh murah, perusahaan di Suriname tetap menanggung biaya tambahan seperti pemukiman dan layanan kesehatan, membuat sistem kontrak ini tidak sepenuhnya efisien. Upah harian sebesar 0,8 florin terbilang tinggi di Hindia Belanda, meski tergolong rendah di Suriname.

Bencana kelaparan yang terjadi pada 1938–1939 memperparah keadaan. Laporan dalam Jurnal Medis untuk Hindia Belanda tahun 1940 mencatat Bojonegoro dilanda malnutrisi parah, penyakit liver, hingga busung lapar. Cuaca ekstrem dan serangan hama menghancurkan pola tanam masyarakat, menyebabkan krisis pangan yang akut.

Demikian itulah peristiwa Migrasi warga Bojonegoro sejak abad ke-19 mencerminkan dinamika sejarah yang kompleks: konflik kolonial, tekanan agraria, dan krisis sosial-ekonomi. Namun, di balik semua itu, sejarah ini juga mencerminkan ketangguhan, adaptasi, dan daya juang masyarakat Bojonegoro dalam menghadapi kerasnya realitas hidup.

Posting Komentar

© Bojonegoro History. All rights reserved. Developed by Jago Desain