Sejarah Pembangunan Jembatan Bengawan antara Cepu dan Padangan Awal Abad 20

Proses Pembangunan Jembatan
Pembangunan infrastruktur transportasi di Hindia Belanda mengalami perkembangan pesat pada awal abad ke-20, termasuk pembangunan jembatan di Sungai Bengawan Solo yang menghubungkan Cepu dan Padangan. Proses pembangunan ini tercatat dalam jurnal De Waterstaats-Ingenieur serta laporan Departemen Jembatan dan Jalan tahun 1913.

Pada tahun 1912, desain awal jembatan mulai disusun dengan spesifikasi dua bentang utama, masing-masing sepanjang 45 meter dengan lebar 3,3 meter. Struktur jembatan ini didukung oleh fondasi cincin yang ditanam dalam tanah liat biru padat hingga kedalaman tertentu. Desain tersebut akhirnya disetujui pada Februari 1914, dan pekerjaan konstruksi dimulai pada Mei tahun yang sama.

Pembangunan jembatan sempat terhenti pada akhir tahun 1914 akibat pecahnya Perang Dunia I. Namun, proyek ini kembali dilanjutkan pada Mei 1915 dengan menerapkan metode penenggelaman sumur menggunakan pompa sentrifugal bertenaga listrik. Dinamo yang digunakan memiliki kapasitas 12 kW, dengan tenaga penggerak berupa lokomobil berkekuatan 21 HP.

Pemasangan Bambu

Para pekerja lokal bertugas menggali bawah air tanpa alat selam, sementara sumur-sumur yang digali dipompa untuk menjaga kejernihan air. Setelah mencapai kedalaman yang ditentukan, sumur-sumur tersebut diisi dengan beton yang terdiri dari campuran kapur, pasir, dan kerikil dari Sungai Solo.

Perbedaan tinggi permukaan air Bengawan Solo, yang bisa mencapai 9 meter, menjadi tantangan utama dalam pemasangan jembatan. Untuk mengatasinya, perakitan dilakukan tanpa menggunakan perancah di sungai. Sebagai gantinya, dua kabel baja direntangkan melintasi sungai untuk mendukung pemasangan. Metode ini memungkinkan pekerjaan tetap berlangsung meskipun musim hujan melanda pada tahun 1916-1917.

Jembatan pertama kali dirakit di tepi kiri sungai, lalu secara bertahap dipindahkan ke posisinya menggunakan sistem troli dan alat bantu Weston. Setelah satu bentang terpasang, metode yang sama diterapkan untuk bentang berikutnya dengan bantuan rel kecil dan balok lintang.

Dalam sebuah surat kabar Hindia Belanda tahun 1914 disebutkan bahwa pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar f 231.000 untuk pembangunan jembatan ini. Jembatan ini memiliki nilai strategis bagi pemerintah kolonial Belanda, terutama dalam memperlancar perdagangan lintas ibu kota dan jalur internasional.

Sebelumnya, akses transportasi antara Cepu dan Padangan masih mengandalkan perahu tambangan, yang dinilai kurang optimal. Oleh karena itu, Belanda memutuskan untuk menggantinya dengan jembatan permanen, yang dibangun di hulu, sekitar 70 meter dari jembatan kereta api Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (N.I.S.) yang juga melintasi Sungai Bengawan Solo.

Menurut laporan surat kabar Hindia Belanda, jembatan ini selesai dibangun pada akhir tahun 1917 dan diresmikan pada awal tahun 1918. Dalam salah satu pemberitaan disebutkan bahwa Mr. Begemann, seorang insinyur dari Burgelijke Openbare Werken (B.O.W.) di Bojonegoro, mengungkapkan kegembiraannya karena pembangunan jembatan ini telah mendekati tahap penyelesaian. Disebutkan bahwa pada akhir Desember 1917, proyek ini telah mengalami kemajuan signifikan dan diperkirakan siap dibuka untuk lalu lintas mulai 1 Januari 1918.

Posting Komentar

© Bojonegoro History. All rights reserved. Developed by Jago Desain