Stasiun Jatirogo: Jalur Kereta Api dari Jatirogo ke Bojonegoro

Kereta Api di Stasiun Jatirogo (Harriman Widiarto) 
Stasiun Jatirogo (JTG) merupakan salah satu saksi bisu kejayaan jalur kereta api di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Terletak di Wotsogo, Jatirogo, stasiun ini berdiri pada ketinggian +66 meter di atas permukaan laut dan masuk dalam Wilayah Penjagaan Aset IV Semarang. Meski kini sudah tidak aktif, keberadaan stasiun ini menyimpan kisah panjang tentang peran pentingnya dalam mendukung aktivitas ekonomi dan mobilitas masyarakat pada masanya.

Pembangunan jalur kereta api menuju Jatirogo merupakan bagian dari proyek ambisius Samarang–Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) yang bertujuan menghubungkan berbagai daerah penting di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jalur ini kemudian disambungkan dengan jalur milik Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).

Potongan Majalah Lokomotif

Dalam Majalah Lokomotif mingguan yang didedikasikan untuk kepentingan perkeretaapian dan trem terbitan 1911 dijelaskan Pada 1910, Perusahaan Kereta Api Belanda-India (NIS) aktif memperluas jaringan rel dan trem di Jawa Tengah. NIS mengajukan sejumlah konsesi untuk membangun jalur baru, namun masih dalam tahap negosiasi dengan pemerintah terkait syarat-syaratnya.

Sebagai perpanjangan permohonan konsesi pembangunan dan pengoperasian jalur trem uap dari Bodjonegoro sampai jatirogo, maka dimintakan konsesi pembangunan dan pengoperasian jalur trem uap dari Bodjonegoro lewat Djatirogo dan Pamotan sampai Lasem. Diminta konsesi untuk pembangunan dan pengoperasian jalan trem uap dari Kapoean ke Sungai Solo sepanjang lebih dari 1.000 km, jalan trem uap dari Surabaya ke Grisee dan jalan trem uap dari Solo ke Wonogiri.

Terkait permohonan konsesi terakhir, ternyata pemerintah ingin memperluas jalur trem uap ini hingga tuntas, yang perpanjangannya masih akan diselidiki lebih lanjut.

Lalu, pada tahun 1911 diputuskan untuk mengajukan konsesi pembangunan dan pengoperasian jalan trem uap dari Babat ke Toeban dan Djenu, sementara pemerintah diberitahu bahwa perusahaan juga siap mengerjakan sisanya oleh ketuanya.

Dengan demikian stasiun Jatirogo resmi beroperasi setelah penyelesaian jalur Lasem–Pamotan pada 1 Juni 1914, yang kemudian dilanjutkan dengan jalur Pamotan–Jatirogo pada 20 Februari 1919. Pembangunan ini memungkinkan akses transportasi yang lebih efektif untuk mengangkut penumpang dan hasil bumi, terutama pasir kuarsa yang menjadi komoditas utama di wilayah tersebut.

Pada masa kejayaannya, jalur kereta api Jatirogo tidak hanya berfungsi sebagai sarana transportasi penumpang, tetapi juga sebagai jalur vital untuk distribusi pasir kuarsa, tanah liat, dan batu gamping. Bahan-bahan tersebut memiliki peran penting dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di Eropa, terutama dalam bidang fisika, kimia, dan elektronika.

Kereta Melintasi Jembatan Kaliketek, Bojonegoro
Pada 1 Mei 1919, jalur kereta api dari Jatirogo ke Bojonegoro berhasil diselesaikan oleh NIS. Jalur ini semakin memperluas jangkauan distribusi pasir kuarsa ke berbagai daerah dan bahkan ke pasar internasional.

Seiring dengan menurunnya aktivitas pengangkutan kuarsa dan perubahan pola transportasi, jalur dan Stasiun Jatirogo mulai kehilangan relevansinya. Meskipun rencana penutupan sudah muncul pada tahun 1999, operasional stasiun ini baru benar-benar dihentikan pada tahun 2001, setelah stok pasir kuarsa di sekitar wilayah tersebut habis.

Hari ini, Stasiun Jatirogo hanya tinggal kenangan. Bangunan yang tersisa menjadi saksi bisu perjalanan panjangnya dalam mendukung aktivitas ekonomi dan mobilitas masyarakat. Bagi sebagian orang, stasiun ini bukan sekadar bangunan tua, tetapi juga bagian dari sejarah yang patut dilestarikan sebagai warisan budaya dan pengingat akan pentingnya peran transportasi kereta api di masa lalu. Stasiun Jatirogo mungkin tak lagi beroperasi, namun kisahnya akan selalu hidup dalam sejarah transportasi kereta api Indonesia.

Posting Komentar

© Bojonegoro History. All rights reserved. Developed by Jago Desain