Membaca Sugihwaras, tidak hanya dengan sekadar sebuah nama wilayah yang lahir begitu saja, sebagaimana dalam peta 1866, pasar Soegihwaras telah ada menjadi ruang lingkup dagang dari berbagai entitas wilayah yang berbeda.
Selama dua hari ini, kami berkunjung ke beberapa rumah tua yang masih tersisa dideretan sepajang tepi Jl. Raya Sugihwaras, untuk melakukan penelitian dalam kebutuhan kajian tentang melihat pertumbuhan dan perkembangan wilayah Pasar Sugihwaras.
Akhirnya kami bertamu ke salah satu Rumah yang berada di utara Jembatan, yakni Rumah Mbah Toha, ia lahir sekitar tahun 1910, sejak kecil ia sudah dibina oleh keluarganya tentang ilmu agama, sekaligus berdagang di daerat setempat.
Pada tahun 1930, atas kegigihan Mbah Toha, ia membangun Rumah dengan bahan kayu Jati, perpaduan antara arsitektur kolonial Eropa dengan adaptasi terhadap iklim tropis/tradisional Jawa, selain itu lantai tegel Klasik: Motif ubin yang rumit dan khas, menunjukkan pengaruh desain Eropa abad 19-20.
Motif kaca patri kecil berwarna-warni di bagian atas jendela dan pintu mencerminkan pengaruh arsitektur Belanda. Bahkan Perabotan antik dan tata ruang terbuka memperkuat kesan rumah besar tradisional zaman Hindia Belanda.
Selain itu, Mbah Toha juga salah satu dari perintis tentang keberadaan Madrasah Agama yang bertempat tidak jauh dari rumahnya, sebuah lembaga pendidikan yang sangat maju dizamannya, bahkan pernah mendapatkan Sumbangan sebanyak Rp 50 seperti yang ditulis dalam Koran Warta Bojonegoro-Syuu adalah surat kabar yang terbit di Jawa Timur pada 18 Agustus 1945.
Selain, Madrasah Agama pun juga ada Sekolah Rakyat "(Inlandsche Scholer)" yang sekarang menjadi SDN 1 di Jabon, Sugihwaras. Oleh sebab itu menandakan bahwa wilayah Sugihwaras sudah cukup maju dimasanya dari aspek Pendidikan dan bisnis.
Tidak hanya itu, dalam laporan Majalah Perdagangan 1890 Sekitar Pasar Sugihwaras juga terdapat beberapa Gudang penyimpan Garam, yang di ekspor dari pesisir ke pedalaman Jawa kemudian dijual di pasar-pasar terdekat.
Sugihwaras juga sangat padat akan saudagar-saudagar yang mulai tumbuh dan berkembang, misalnya dalam Majalah Perdagangan Hindia Belanda 1933 menceritakan tentang Tio Thwan Ing, saudagar, tinggal di Sugihwaras, ia memulai membangun bisnis Tembakau di sejumlah titik wilayah tersebut.
Tidak hanya itu, saudagar-saudagar Tionghoa juga mulai membangun Rimah, pertokoan, seperti yang ditulis dalam Jurnal Perdagangan Surabaya 1933.
Jadi pada 1890-1940 Pasar Sugihwaras sudah cukup ramai dengan para pedagang yang datang silih berganti dan menetap di wilayah tersebut, pertumbuhan domestik yang awalnya lebih pada pada garam, kemudian beralih ke perkebunan Tembakau, hingga Gudang Tembakau yang dapat kita temukan hampir tersebar di 17 Desa di Kecamatan Sugihwaras.
Pada puncak keemasan, bahwa di Kecamatan Sugihwaras dan Ngasem cukup unggul pada bulan september 1932, dan sangat menguntungkan sekali bagi petani Tembakau, seperti yang ditulis dalam Artikel terbitan Perdagangan Hindia Belanda tahun 1934.